Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek mengusulkan setiap anak yang akan mendaftar ke sekolah dasar (SD) wajib memperlihatkan riwayat imunisasi yang tercatat pada buku imunisasi masing-masing.
Menurutnya, usulan itu sudah disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. “Kami memasukkan buku imunisasi ini (sebagai syarat mendaftar sekolah dasar), dan Pak Menteri setuju,” kata Menkes saat mengunjungi PT Bio Farma di Bandung, Sabtu (13/1).
Ia mengatakan tahap selanjutnya akan ada proses untuk pembuatan peraturan terkait dengan implementasi itu di lapangan. Namun, Nila meminta wacana tersebut tidak dianggap sebagai pelarangan sekolah bagi anak yang belum di imunisasi.
“Jangan dianggap (karena) belum imunisasi, tidak boleh sekolah. Tentu tidak (seperti itu). Kami mendorong agar mereka melakukan imunisasi,” ujar Nila.
Apabila ada anak yang hendak mendaftar sekolah dan imunisasinya belum lengkap, ujarnya, anak tersebut harus divaksinasi terlebih dahulu. Selain itu, keuntungan pelaksanaan imunisasi saat masuk sekolah bisa meningkatkan cakupan imunisasi dasar serta menyosialisasikan informasi mengenai pentingnya imunisasi kepada orangtua.
Bahkan, pada diskusi di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (12/1), Menkes sempat berkelakar tentang irinya ia terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang kerap menenggelamkan kapal asing pelaku pencurian ikan. “Masa Bu Susi aja boleh tenggelamin kapal, saya enggak boleh nyuntik (imunisasi) orang,” kata Menkes.
Pada kasus kejadian luar biasa (KLB) difteri pada 2017, tercatat 80% pasien difteri ialah anak sekolah. Karena itu, 7S% sasaran imunisasi ulang difteri juga dilakukan di sekolah.
Penularan difteri yang terjadi melalui percikan air air dari bersin atau batuk penderita atau pembawa kuman difteri sangat mudah menular pada kelompok orang yang tidak memiliki antibodi.
Produksi anti difteri
PT Bio Farma berencana membuat serum antidifteri pada akhir tahun ini atau awal 2019 sehingga pemerintah tidak lagi harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Kami (selama ini) impor, tetapi kami sedang mengembangkan sendiri. Mudah-mudahan akhir tahun ini atau awal tahun depan itu sudah jadi,” kata Direktur Litama PT Bio Farma juliman di Jakarta, Jumat (12/1).
Dengan pemerintah memproduksi antidifteri serum (ADS), harga di dalam negeri akan bisa mencapai di bawah
Rp 500 ribu, atau antara 20% hingga 25% dari harga sekarang yang mencapai Rp 2 juta.
Dengan memproduksi serum sendiri, selain harganya lebih murah, Indonesia akan mandiri dan tidak bergantung pada negara lain yang belum tentu bisa menyediakannya sesuai dengan jumlah kebutuhan Indonesia. Apalagi, negara yang membutuhkan ADS untuk KLB difteri tidak hanya Indonesia.
“KLB difteri tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di India dan Yaman juga. Kemudian Bangladesh ada Rohingya kena. Semua butuh barang yang sama,” tuturnya.
Kemenkes mengimpor 4.000 obat ADS untuk memenuhi kebutuhan pengobatan pasien difteri di Indonesia. Sementara itu, untuk kebutuhan vaksin difteri dalam pelaksanaan imunisasi ulang atau outbreak response immunization (OR1), Kemenkes meminta Bio Farma meningkatkan jumlah produksi vaksin difteri.
Menjadi yang terupdate, dengan berlangganan setiap postingan artikel terbaru Forum Merdeka
Barat 9