JAKARTA – Pemerintah tidak ragu sedikit pun untuk mempercepat pelepasan 4,1 juta hektare kawasan hutan sebagai tanah objek reforma agraria dalam tempo dua tahun.
Kawasan hutan yang kemudian berstatus area penggunaan Jain (APL) tersebut akan dikategorikan sebagai lahan baru (fresh land). Perubahan peruntukan itu berasal dari hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan kawasan hutan yang menjadi kebun dan aneka kegiatan lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui bahwa pelepasan kawasan hutan secara besar-besaran itu berpotensi ditafsirkan oleh dunia internasional sebagai deforestasi. Namun, dia menegaskan, kawasan hutan yang dikonversi justru didominasi oleh areal tanpa tutupan pohon.
Pemerintah, kata Darmin, memandang lahan tidak produktif tersebut lebih tepat dibagikan kepada masyarakat yang marginal secara ekonomi. Di sisi lain, pemerintah akan menggencarkan pula peningkatan tutupan hutan, termasuk dalam skema perhutanan sosial.
“Kita akan tunjukkan kepada dunia bahwa program reforma agraria ini bukan deforestasi, tetapi reformasi dan transformasi petani kita,” katanya dalam acara diskusi media bertajuk reforma agraria dan Perhutanan Sosial di Jakarta, Minggu (26/3).
Dalam program reforma agraria 2017 – 2019, pelepasan 4,1 juta ha kawasan hutan itu dikategorikan sebagai lahan baru untuk diredistribusi. Kategori lahan baru lainnya adalah 0,4 juta ha bekas hak guna usaha dan tanah negara yang telantar. Secara umum, reforma agraria mengalokasikan 9 juta ha tanah.
Darmin menyebutkan langkah-langkah percepatan pelepasan kawasan hutan buat reforma agraria akan ditampung dalam dua peraturan presiden. Pertama, Perpres tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah oleh Masyarakat yang Berada di Dalam Kawasan Hutan. Kedua, Perpres tentang Reforma Agaria.
“Mungkin dalam waktu dua sampai tiga minggu selesai (penyusunannya) di kantor saya (Kemenko Perekonomian),” ujar Darmin.
Dalam rancangan beleid itu, pemerintah sudah mencantumkan mekanisme distribusi lahan yakni seluas 2-12 ha per kepala keluarga, angka ketimpangan di satu daerah, dan sejumlah larangan bagi penerima lahan. Dalam sertifikat misalnya, akan dicantumkan larangan bagi petani dan pekebun untuk menjual dan memecah-mecah lahan bila akan diwariskan.
Setelah beleid itu terbit, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil menambahkan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengecek 4,1 juta ha kawasan hutan itu di tingkat tapak. Dari situ, KLHK akan menerbitkan surat keputusan menteri tentang pelepasannya menjadi APL.
“Begitu semua dilepas, kami akan langsung bisa sertifikatkan. Tapi untuk redistribusi ini memang dibutuhkan biaya,” katanya di tempat yang sama.
Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan KLHK Yuyu Rahayu mengatakan, instansinya siap bekerja sama dengan BPN dalam tahap inspeksi lapangan.
TAK SERTA-MERTA
Namun, dia menegaskan bahwa pelepasan tidak dilakukan serta-merta, melainkan tetap mempertimbangkan faktor lingkungan dan konflik.
KLHK, tambah Yuyu, mengindentifikasi tanah objek reforma agraria lebih besar dari 4,1 juta ha yakni seluas 4,85 juta ha. Sebagian besar sudah diduduki masyarakat dan sebagian lagi berupa HPK nonproduktif.
Menjadi yang terupdate, dengan berlangganan setiap postingan artikel terbaru Forum Merdeka
Barat 9