Jakarta – Perkawinan adalah suatu komitmen dari pasangan yang ingin membina keluarga bahagia dan sejahtera sepanjang hayat. Komitmen suci tersebut idealnya membentuk keluarga-keluarga harmonis, sehat, cerdas, bermasyarakat dan pada akhirnya mendorong terciptanya bangsa yang berdaya saing.
Namun demikian, kondisi keluarga maupun masyarakat tidak seindah ikatan janji suci antara pasangan suami-istri karena menyangkut juga proses keluarga dalam membangun tumbuh kembang anak. Sejauh mana keluarga mampu menyediakan pendidikan, kesehatan, pergaulan sehat dan laku keagamaan dengan bijak.
Bagaimana kondisi rumah tangga di Indonesia secara umum? Menurut data Susenas sedikitnya terjadi 11,2% perkawinan anak atau di bawah umur. Sepanjang tahun 2018, menurut Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada 375.714 kasus perceraian dan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Adapun data Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (KPPPA) sebanyak 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri. Yang lebih menyedihkan lagi menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2017 sedikitnya 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Pemerintah memfasilitasi warga untuk melaksanakan pernikahan meski juga masih cukup banyak perkawinan secara adat. Lewat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setidaknya negara membantu proses warga untuk membina keluarga. Perubahan norma dalam batas umur pernikahan bagi pria dan wanita yang akhirnya disamakan menjadi 19 tahun menjadi sebuah kesadaran bersama bahwa kondisi kesiapan psikologi dan kesehatan pasangan juga penting sebelum memasuki gerbang perkawinan. Dari sinilah pemerintah juga ingin memaksimalkan bimbingan perkawinan bagi para pasangan yang ingin menikah.
Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan Kementerian Agama tengah menggodok rencana program sertifikasi perkawinan. Program sertifikasi perkawinan tersebut nantinya akan menjadi salah satu syarat pernikahan bagi para pasangan yang akan menikah. Mereka akan diberikan bimbingan perkawinan secara komplet mulai mewujudkan keluarga sehat dan bahagia serta cara mengatasi konflik keluarga.
Usulan ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Apakah betul sertifikasi perkawinan ini menjadi syarat wajib pernikahan, yang tidak ikut tidak boleh menikah? Apakah petugas Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil sudah memenuhi syarat berkualitas untuk menasehati para calon pengantin? Tidak ada jaminan ketika mendapatkan sertifikat perkawinan ini pasangan suami-istri kelak tidak bercerai? Apakah ada biaya tambahan untuk mengikuti bimbingan perkawinan ini?
Pertanyaan tersebut akan dikupas tuntas dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk “Perlukah Sertifikasi Perkawinan?” yang digelar di Kementerian Kominfo, Jakarta, Jumat (22/11/2019) mulai pukul 13.00 WIB.
Diskusi Media FMB 9 ini menurut rencana akan menghadirkan narasumber Deputi VI Kemenko PMK Ghafur Akbar Dharma Putra, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama Mohsen, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, dan Wasekjen Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Amirsyah Tambunan.
Kegiatan FMB 9 juga bisa diikuti secara langsung di www.fmb9.go.id, FMB9ID_ (Twitter), FMB9.ID (Instagram), FMB9.ID (Facebook), dan FMB9ID_IKP (Youtube).
Menjadi yang terupdate, dengan berlangganan setiap postingan artikel terbaru Forum Merdeka
Barat 9