Jakarta – Pemerintah terus mengkaji dan mengebut rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai dana haji. RPP tersebut antara lain akan mengatur penempatan atau investasi dana haji di infrastruktur.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, RPP tersebut saat ini sedang didalami dan dipersiapkan. Salah satu yang dikaji dalam RPP tersebut yaitu mengenai perlu atau tidaknya rambu-rambu untuk membatasi kewenangan yang diberikan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), badan yang mengelola dan mengatur penempatan dana haji.
RPP ini, kata dia, kini masih berada di tangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan sedang dalam harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). “Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa diharmonisasi, bisa dituntaskan. Terus kita kebut,” ujarnya dalam diskusi “Manfaat investasi dana haji untuk Umat” di Jakarta, Sabtu (5/8) sore.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dana atau investasi keuangan haji diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Namun, saat ini PP yang dimaksud belum rampung.
“Hingga PP-nya diterbitkan maka kegiatan penempatan atau investasi dana haji saat ini masih mengacu sesuai ketentuan umum Undang-Undang (UU) 34 Tahun 2014,” ujarnya.
Bambang Brodjonegoro menyatakan, ada pemahaman yang perlu diluruskan terkait isu investasi dana haji untuk infrastruktur. Menurut Bambang, dana haji tidak akan digunakan atau dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur, melainkan diinvestasikan untuk manfaat dan return yang lebih besar, baik bagi jamaah haji Indonesia, umat Islam, maupun negara. “Pemerintah menegaskan bahwa dana haji hanya akan diinvestasikan melalui instrumen yang tepat dan sesuai syariah,” ujarnya.
Bambang menjelaskan, infrastruktur strategis dipilih sebagai salah satu kanal investasi. Hal itu, lanjut dia, mengingat potensi keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh dibanding hanya menaruh dana di bank syariah. “Mengapa harus mengejar keuntungan sesuai syariah sebesar mungkin? Karena kita ingin lebih manusiawi, kita ingin haji-haji Indonesia yang sudah ikhlas menabung untuk membayar ongkos naik haji itu bisa mendapatkan pelayanan yang maksimal,” ungkap dia.
Kualitas itu diwujudkan dengan jarak penginapan dari Masjidil Haram, transportasi udara dan darat, segi kesehatannya, hingga segi makanannya selama di Makkah. “Agar ibadah para jamaah haji dapat dijalankan secara lebih khusyuk,” kata dia.
Menag mengatakan, terdapat dua golongan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), yakni direct cost dan indirect cost. Direct cost atau biaya langsung yang dibayar jamaah haji meliputi tiket pesawat, pemondokan di Makkah, dan living cost. Tahun 2017, rata-rata biaya lang-sungnya Rp 34,8 juta.
Sedangkan, indirect cost atau biaya yang tidak dibayar langsung jamaah ada 17 komponen, seperti pemondokan di Madinah, biaya layanan umum, peningkatan transportasi, makan di Jeddah, dan akomodasi asrama haji. Biaya ini dibayar dengan optimalisasi setoran BPIH indirect cost yang jumlahnya Rp 26,9 juta.
Menurut Menag, investasi untuk pembangunan infrastruktur strategis ini dimaksudkan agar optimalisasi biaya haji dapat lebih maksimal. Dengan begitu, jamaah pun mendapatkan keuntungan lebih.
Ketua BPKH Yuslam Fauzi berjanji akan berhati-hati dalam mengelola dana haji, mengingat dana haji yang dikumpulkan berasal dari jerih payah masyarakat. “Kami menyadari bahwa dana haji bukan mudah untuk mengumpulkannya,” ujar Yuslam.
Dia menjelaskan, BPKH tidak akan mengambil risiko yang tinggi dalam mengelola dana tersebut dan hanya pada proyek-proyek yang menguntungkan saja. Jadi, dana tersebut tidak hanya untuk infrastruktur.
Menjadi yang terupdate, dengan berlangganan setiap postingan artikel terbaru Forum Merdeka
Barat 9